AKUNTANSI
ISTISHNA’
I.
PENGERTIAN
Akad istishna adalah akad jual beli
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/ mustashni) dan
penjual (pembuat/ shani’). Shani’ akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai
dengan spesifikasi yang telah disepakati dimana dapat menyiapkan sendiri atau
melalui pihak lain (istishna’ paralel). Selain itu, Istishna’ adalah akad jual
beli antara al-mustashni’ (pembeli) dan as-shani’ (produsen yang juga bertindak
sebagai penjual), penyerahan dilakukan kemudian dengan pembayaran sesuai
kesepakatan. Berdasarkan akad tersebut, pembeli menugasi produsen untuk
menyediakan al-mashnu’ (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang diisyaratkan
pembeli dn menjualnya dengan harga yang disepakati. Cara pembayaran dapat
berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau dtangguhkan sampai jangka waktu
tertentu.
Dalam PSAK 104 tentang Akuntansi
Istishna’ diperoleh beberapa pengertian yang berkaitan dengan transaksi
Istishna’ adalah sebagai berikut:
1. Istishna’
adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli,mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
2. Istishna’
pararel adalah suatu bentuk akad istishna’ antara pemesan (pembeli, mustashni’)
dengan penjual (pembuat, shani’) kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada
mustashni’, penjual memerlukan pihak lain sebagai shani’.
3. Pembayaran
tanggguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan
kepda pembeli tetapi pembayaran dilakukan dalam bentuk angsuran atau sekaligus
pada waktu tertentu.
Dalam kamus Istilah Keuangan dan
Perbankan Syariah, Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia menjelaskan
sebagai berikut:
1. Istishna’
adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembauatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan/pembeli
(mustashni’) dan penjual/pembuat (shani’)
2. Istishna’
pararel adalah dua transaksi bai’ al-istishna’ yang dilakukan oleh para pihak
secara simultan.
3. Bai’
Istishna’ adalah kontrak penjualan atara pembelidan pembuat barang, menurut
spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua
belah pihak sepakat atas harga serta sistem pembayaran dilakukan dimuka,
melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan
datang.
Rukun
Istishna’ adalah:
1. Produsen/pembuat
barang (shani’) dan juga menyediakan bahan bakunya
2. Pemesan/pembeli
barang (mustashni’)
3. Proyek/usaha
barang/jasa yang dipesan (mashnu’)
4. Harga
(Tsaman)
5. Shighat/ijab
Qabul.
Syarat-syarat Istishna’ (Muamalat
Institue, Perbankan Syariah hal 59) adalah:
1. Pihak
yang berakal cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
2. Ridha/
kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
3. Apabila
isi akad disyartakan shani’ hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi
istishna’ tetapi berubah menjadi akad ijarah.
4. Pihak
yang membuat menyatakan kesanggupan untuk mengadakan/membuat barang itu.
5. Mashnu’
(barang/obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran
(tipe), mutu dan jumlahnya.
6. Barang
tersebut tidak termasuk dalam kategorri yang dilarang syara’ (najis, haram,
samar/tidak jelas) atau menimbulkan kemudharatan (menimbulkan maksiat).
Dalam PSAK 104 par 8 dijelaskan barang
pesanan harus memenuhi kriteria:
1. Memerlukan
proses pembuatan setelah akad disepakati
2. Sesuai
dengan spesifikasi pemesanan (customized),
bukan produk massal
3. Harus
diketahui kerakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis,
kualitas, dan kuantitasnya.
Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh
jaminan dari penjual atas (PSAK 104 par 13) atas(a) jumlah yang telah
dibayarkan, dan (b)penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan
tepat waktu. Dalam akad spesifikasi aset yang dipesan harus jelas, bila produk
yang dipesan adalah rumah maka luas bangunan, model rumah dan spesifikasi harus
jelas. Hargapun harus disepakati berikut cara pembayarannya, apakah 100%
dibayarkan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu tertentu.
Begitu harga disepakati, maka selama masa harga tidak dapat berubah walapun
biaya produksi meningkat, sehingga penjual harus memperhitungkan hal ini.
Perubahan harga hanya dimungkinkan apabila spesifikasi atas barang yang dipesan
berubah. Begitu akad disepakati maka akan mengikat para pihak yang bersepakat
dan pada dasarnya tidak dapat dibatalkan, kecuali:
1. Kedua
belah pihak setujua untuk menghentikannya, atau
2. Akad
batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan
atau penyelesaian akad (PSAK 104 par 12).
Akad berakhir apabila kewajiban kedua
belah pihak telah terpenuhi atau kedua belah pihak bersepakat untuk
menghentikan akad.
II.
JENIS AKAD ISTISHNA’
1. Istishna’
adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/
mustashni) dan penjual (pembuat/ shani’).
(3) |
Keterangan:
(1) Melakukan
akad istishna’
(2) Barang
diserahkan kepada pembeli
(3) Pembayaran
dilakukan oleh pembeli
2. Istishna’
paralel adalah suatu bentuk akad istishna antara penjual dan pemesan, dimana
untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna’
dengan pihak lain (subkontraktor) yang dapat memenuhi aset yang dipesan
pemesan. Syaratnya akad istishna’ pertama (antara penjual dan pemesan) tidak
tergantung pada istishna’ kedua (antara penjual dan pemasok). Selain itu, akad
antara pemesan dengan penjual dan akad antara penjual dan pemesan harus
terpisah dan penjual tidak boleh mengakui adanya keuntungan selama konstruksi.
|
Keterangan:
(1)
Melakukan akad
istishna’
(2)
Penjual memesan dan
membeli pada supplier/produsen
(3)
Barang diserahkan dari
produsen
(4)
Barang diserahkan
kepada pembeli
(5)
Pembayaran dilakukan
oleh pembeli
III.
JENIS DAN ALUR
TRANSKASI ISTISHNA’
Dalam transaksi kedudukan Lembaga
Keuangan Syariah dapt bertindak sebagai produsen/pembuat/kontraktor. Disamping
itu Lembaga Keuangan Syariah juga dapt berindak sebagaipemean/pembeli, atau
bertindak sebagi produsen skaligus yang dilakukan secara simultan. Untuk
memberikan gambaran masing-masing kedudukan Lembaga Keuangan Syariah, berikut
penjelasan dan uraian yang lebih lengkap :
A.
Istishna’ Lembaga
Keuangan Syariah sebagai pembuat (produsen)
Lembaga Keuangan
Syariah sebagai produsen dalam transaksi istishna’ ini dapat dilakukan untuk
pengelolan dana seperti renovasi rumah, pembuatan perkebunan kelapa sawit dan
sebagainya. Alur transaksi Lembaga Keuangan Syariah sebagai produsen adalah
sebagai berikut :
1a. Pesan barang (akad
ististhna)
2a. Penerimaan
modal
SYAFULLAH LKS
BERKAH GUSTI
(pemesan/pembeli) (pembuat/produsen)
3a. Penyerahan
barang pesanan
Dalam gambar diatas kedudukan
Lembaga Keuangan Syariah sebagai pembuat atau produsen atau kontraktor dan Lembaga
Keuangan Syariah dapt menerima pesanan atas barang-barang yang masih memerlukan
proses pembuatan. Gambar tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Lembaga
Keuangan Syariah sebagai produsen dan Nasabah sebagai pemesan melakukan
negosiasi terutama tentang spesifikasi dan dituangkan dalam akad Istishna’
2. Lembaga
Keuangan Syariah menerima pembayaran harga (modal istishna’) dari Nasabah
sesuai kesepakatan (misalnya pembayaran dilakukan dimuka atau sebagian dari
modal selama dalam proses pembuatan barang).
3. Barang pesanan dari hasil produksi Lembaga Keuangan
Syariah diserahkan kepada Nasabah sebagi pembeli atau pemesan. Dengan
diserahkannya barang tersbut kewajiban bank syariah sebagi pembuat telah
selesai.
B. Istishna’
Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemesan
Transaksi istishna’ Lembaga
Keuangan Syariah sebagai pemesan dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam
hal Lembaga Keuangan Syariah melakukan renovasi kantor atau gedung, pembangunan
kantor dan sebagainya. Alur transaksi Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemesan
dapat dilihat dalam gambar berikut:
Syariah sebagai
produsen adalah sebagai berikut :
1b. Pesan barang (akad istishna)
2b. Penerimaan
modal
LKS
BERKAH GUSTI PT
ANUGRAH
(pemesan/pembeli) (kontraktor/produsen)
3b. Penyerahan
barang pesanan
Dalam
gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Lembaga
Keuangan Syariah sebagai pemesan dan Nasabah sebagi kontraktor atau produsen
melakukan negosiasi terutama tentang spesifikasi barang termasuk cara
penyerahannya dan cara pembayaran atas barang tersebut, hingga disepakati dan
dituangkan dalam akad istishna’.
2. Lembaga
Keuangan Syariah sebai pemesan membayar harga modal istishna’) kepada Nasabah
sebagai produsen sesuai kesepakatan (misalnya pembayaran dilakukan dimuka atau
sebagian dari modal selama dalam proses pembuatan barang).
3. Barang
pesanan dari hasil produksi nasabah diserahkan kepada Lembaga Keuangan Syariah
sebagi pembeli atau pemesan. Dengan diserahkannya barang tersebut kewajiban
Lembaga Keuangan Syariah sebagai pembuat telah selesesai.
C. Istishna’
Paralel
Istishna’ Paralel merupakan dua
transaksi istishna’ yang dilakukan secara simultan. Hal ini dilakukan kalau
Lembaga Keuangan Syariah sebagai produsen tidak dapat mengerjakan sendiri dan
menyerahkan kepada pihak lain untuk membuatnya. Dalam istoshna’ paralel ini
merupakan gabungan transaksi istisna’ Lembaga Keuangan Syariah sebagai pembuat
atau produsen dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemesan. Alur transaksi
istishna’ paralel dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
Istishna
bank syariah sebagai pembuat Istishna
bank syariah sebagai pembeli
1a. Pesan barang (akad 1) 1b. Pesan
barang (akad 2)
2a. Penerimaan modal 2b. Penyerahan modal
SYAFULLAH LKS
BERKAH GUSTI PT
ANUGRAH
Pemesan/pembeli (pembuat
& pemesan) Sub
kontraktor
3a. Penyerahan barang pesanan 3b.Penyerahan barang pesanan
Istishna
paralel-bank syariah sebagai pemesan dan senagai pembuat dengan akad
terpisah
Dalam gambar diatas kedudukan
Lembaga Keuangan Syariah sebagi pembuat/pesanan/kontraktor sekaligus sebagai
pemesan/pembeli yang dilakukan secara simultan. Dalam transaksi istishna’
paralel ini dapat dilakukan mana yang lebih dahulu, Lembaga Keuangan Syariah
sebagai produsen atau Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemesan. Gambar tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dalam
alur 1a, Nasabah (Syaifullah) sebagai pembeli akhir melakukan negosiasi kepada
LKS Berkah Gusti sebgai kontraktor atas pembangunan gedung, khususnya hal-hal
yang berkaitan dengan spesifikasi gedung dan cara pembayarannya hingga
diperoleh kesepakatan dan dituangkan dalam akd istishna’ (akad istishna’
pertama)
2. Dalam
alur 1b, oleh karena LKS Berkah Gusti tidak memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan gedung tersebut ia menyerahkan kepada Nasabah (PT Anugrah) sebagai
pelaksana pembangunan gedung/sub kontraktor karena kontraktor aslinya adalah
LKS Berkah Gusti. Untuk itu dilakukan negosiasi, khususnya spesifikasi barang
(sama dengan yang dipesan oleh Nasabah/Syaifullah sebagai pembeli akhir) dan
cara pembayaran hingga kesepakatan dan dituangkan dalam akad istishna’ (akad
istishna’ kedua). Sesuai ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional dijelaskan
bahwa kedu akad tersebut tidak boleh saling terkaid, sehingga jika salah satu
gagal tidak boleh membawa dampak pada pihak lain.
3. Dalam
alur 2a, Nasabah (Syaifullah) pembeli akhir melakukan pembayaran harga barang
kepada LKS Berkah Gusti dan begitu juga dalm alur 2b , LKS Berkah Gusti
menyerahkan modal pada Nasabah (PT Anugrah) sebagai subkontraktor sesuai
kesepakatan. (ini jika pembayaran dilakukan dimuka atau dilakukan sebagian
selama dalam proses produksi)
4. Nasabah
(PT Anugrah) sebagai subkontraktor setelah gedung selesai dibangun disrahkan
kepada LKS Berkah Gusti sebagai pemesan (alur 3a). Jika gedung tidak sesuai
spesifikasi yang disepakati LKS Berkah Gusti dapat menolak. Dan seterusnya LKS
Berkah Gusti menyerahkan gedung kepada Nasabah (syaifullah) pembeli akhir (alur
3b). Misalnya atas keteledoran LKS Berkah Gusti dalam menentukan spesifikasi
barang atau penerimaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan Nasabah
(syaifullah) pembeli akhir menolak gedung tersebut, maka LKS Berkah Gusti harus
bertanggung jawab sehingga barang sesuai spesifikasi yang disepakati. Kewajiban
produsen adalah kewajiban penyerahan barang sesuai spesifikasi yang telah
disepakati (bukan penyerahan kembali uang).
Jika dalam sebuah kontrak
istishna’a pemesan/pembeli mengizinkan penjula/produseJika dalam sebuah kontrak
istishna’ pemesan/pembeli mengizinkan penjula/produsen (al-sani’) untuk
menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut, maka penjual
atau produsen (al-sani’) bisa memulai kontrak baru Istishna’a dengan pandangan
melaksanakan kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal
sebagai Istishna’ paralel yang merupakan subkontrak dimana kewajiban al-sani’
pada kontrak ertama dilaksanakan (aaoifi, 2000). Meskipun demikian :
1. Lembaga
Keuangan Syariah sebagi penjual/produsen pada kontrak pertama tetap
satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya seolah-olah
tidak ada Istishna’ pararel sehingga, penjual/produsen pada kontrak pertama
tetap bertanggung jawab ats setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran
kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
2. Penjual/produsen
pada Istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap pemesan/pembeli (Lembaga
Keuangan Syariah) sebagaimana dia melaksanakan kewajibannya. Dia tidak
mempunyai hubungan legal secar langsung dengan pemesan/pembeli pada kontrak
pertama. Istishna’a kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan transaksi
bersyaratpada kontrak pertama. Secara legal keduanya merupakan kontrak yang
berbeda dilihat dilihat dari hak dan kewajibannya.
3. Lembaga
Keuangan Syariah sebagai penjual/produsen berkewajiban kepada pemesan/pembeli
terhadap kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya.
Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan Istishna’ paralel dan yang juga
membenarkan keuntungan oleh Lembaga Keuangan Syariah, jika ada.
IV.
KARAKTERISTIK ISTISHNA’
Dari definisi diatas dapat dilihat bahwa
istishna’ merupakan jual beli dimana penyerahan barang dilakukan dengan
kemudian dengan pembayaran sesuai kesepakatan, yaitu pembayaran dilakukan
dimuka seluruhnya sebelum proses produksi dilakukan atau pembayaran dilakukan
selam proses produksi atau pembayaran dilakukan setelah barang pesanan
diterima. Dewan syariah nasional menetapkan tentang jual beli istishna’ sebagi
tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 06/DSN-MUI/IV/2000
tertanggal 4 April 2000 (Fatwa, 2006) sebagi berikut :
Pertama
: keterangan tentang pembayaran
1. Alat
bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, brang, atau
manfaat.
2. Pembayaran
dilakukan sesuai dengan manfaat.
3. Pembayaran
tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua
: ketentuan tentang barang.
1. Harus
jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang
2. Harus
dapat dijelaskan spesifikasinya
3. Penyerahan
dilakukan kemudian
4. Waktu
dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepatan
5. Pembeli
(mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak
boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
7. Dalam
hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga
: Ketentuan lain.
1. Dalam
hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepatan, hukumnya mengikat.
2. Semua
ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada
jual beli Isnishna’.
3. Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jiak terjadi perselisihan
diantara kedua belah pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan
arbitrasi syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Sedangkan fatwa yang berkaitan
dengan Istishna’ Paralel sebagaiman tercantum dalam Fatwa DSN no22/DSN-MUI/III/2004
tanggal 28 Maret 2004 (Ftawa,2006) sbb :
1. Jika
LKS melakukan istishna’ untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat
melakukan istishna’ lagi dengan pihak lain pada obyek yang sama, dengan syarat
istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua.
2. Emua
rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna’ (Fatwa DSN No.6/
DSN.MUI/IV/2000) berlaku pula dalam Istishna’ Pararel.
Dalam PSAK 104 tentang Akuntansi
Istoshna’ dijelaskan karakteristik Istishna’ sebagai berikut :
1. Berdasarkan
akad istishna’, pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan
(mushnu’) sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli,
dengan cara pembayaran dimuka atau tangguh.
2. Spesifikasi
dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awla akad.
Ketentuan barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.
3. Barang
pesanan harus memenuhi kriteria :
a) Memerlukan
proses pemuatan setelah akad disepakati;
b) Sesuai
dengan spesifikasi pemesan (customized) bukan produk massal; dan
c) Harus
diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis,
kualitas, dan kuantitasnya.
4. Barang
pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli
dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat maka penjual
harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
5. Entitas
dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’.
Jika entitas bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain
(produsen atau kontraktor) untuk membuat barang pesanan juga dengan cara
istishna’; maka hal ini disebut istishna’ pararel.
6. Istishna’
pararel dapat dilakukan dengan syarat akad pertama, antara entitas dan pembeli
akhir, tidak bergantung (mu’allaq) dari akad kedua, anatara entitas dan pihak
lain.
7. Pada
dasarnya Istishna’ tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi:
a) Kedua
belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau
b) Akad
batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan
atau penyelesaian akad.
8. Pembeli
mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas :
a) Jumlah
yang telah dibayarkan; dan
b) Penyerahan
barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.
V.
DASAR SYARIAH
1. Sumber
Hukum Akad Istishna’
Amr bin ‘Auf berkata:
“Perdamaian
dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharumkan
yang halal dan menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terkait dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan
menghalalkan haram.”(HR.Tirmidzi)
Abu Sa’id al-Khudri berkata: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri
maupun orang lain.”(HR. Ibnu Majah, Daruquthni, dan yang lain)
Masyarakat telah
mempraktikkan istishna’ secara luas dan terus-menerus tanpa ada keberatan sama
sekali. Istishna’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontark
selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
2. Rukun
dan Ketentuan Akad Istishna’
Adapun rukun istishna’
ada tiga yaitu:
1) Pelaku
terdiri atas pemesan (pembeli/ mustashni) dan penjual (pembuat/ shani’).
2) Objek
akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal istishna’ yang berbentuk
harga.
3) Ijab
kabul/ serah terima.
Ketentuan syariah
1) Pelaku,
harus cakap hukum dan baligh.
2) Objek
akad:
a) Ketentuan
tentang pembayaran
1.) Alat
bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
2.) Harga
yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi apabila
setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam akad maka
penambahan biaya akibat perubahan ini
menjadi tanggung jawab pembeli.
3.) Pembayaran
dilakukan sesuai kesepakatan.
4.) Pembayaran
tidak boleh berupa pembebasan utang.
b) Ketentuan
tentang barang
1> Barang
pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, mutu) sehingga tidak ada
lagi jahalah dan perselisihan dapat
dihindari.
2> Barang
pesanan diserahkan kemudian.
3> Waktu
dan penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
4> Barang
pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.
5> Tidak
boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
6> Dalam
hal terdapat casat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
7> Dalam
hal pesanan sidah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya, mengikat,
tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak dirugikan karena ia telah
menjalankan kewajibannya sesuai kesepakatan.
3) Ijab
kabul
Adalah pernyataan dan
ekspresi saling rida/rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan
secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
3. Berakhirnya
Akad Istishna’
Kontrak istishna’ bisa
berakhir berdasarkan kondisi-kondisi berikut:
(1) Dipenuhinya
kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak
(2) Persetujuan
bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak
(3) Pembatalan
hukum kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-masing pihak bisa menuntut
pembatalannya
VI.
CAKUPAN ISTISHNA’
Pengukuran, pengakuan,
penyajian dan pengungkapan transaksi Istishna’ dan Istishna’ paralel yang sebelumnya
diatur dalam PSAK 59 entang Akuntansi Perbankan Syariah diganti dengan PSAK 104
tentang Akuntansi Istishna’. Dalam PSAK 104 dijelaskan cakupan penerapan
akuntansi sebagai berikut:
1.
Pernyataan ini
diterapkan untuk :
a)
Lembaga Keuangan
Syariah yang melakukan transaksi salam baik sebagai penjual maupun pembeli; dan
b)
Pihak-pihak yang
melakukan transaksi salam dengan Lembaga Keuangan Syariah.
2.
Pernyataan ini tidak
mencangkup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah(sukuk) yang
menggunakan akad salam.
3.
Lembaga Keuangan
Syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
a)
Perbankan syariah
sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b)
Lebaga keuangan syariah
non-bank seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan dana pensiun;dan
c)
Lembaga keuangan lain
yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjalankan
transaksi salam.
Jika cakupan akuntansi
istishna’ dalam PSAK ini adalah untuk Lembaga Keuangan Syariah dalm
melaksanakan transaksi istishna’ baik Lembaga Keuangan Syariah sebagai penjual
atau produsen atau subkontraktor maupun Lembaga Keuangan Syariah sebagai
pembeli atau pemesan. Disamping itu juga dibahas pihak-pihak yang terkait
dengan traksaksi istishna’ yang dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Syariah tersebut.
PASK 104 ini lebih jelas dan pada PSAK 59 misalnya dalam hal pemahaman tentang
transaksi istishna’ yang pembayarannya dilakukan dengan tangguh. Dalam PSAK 104
ini dibahas tentang penyatuan dan segmentasi akad, dan tambahan yang dapat
dilaksanakan dalam transaksi istishna’. Untuk menegetahui kapan akuntansi
pembeli dan akuntansi penjual dalam transaksi dilaksanakan dapat dilihat dalam
gambar berikut ini :
1a. Pesan barang (akad 1) 1b. Pesan
barang (akad 2)
2a. Penerimaan modal 2b. Penyerahan modal
LK
Syariah
Pemesan/pembeli Sub
kontraktor
3a. Penyerahan barang pesanan 3b.Penyerahan barang pesanan
AKUNTANSI
PENJUAL AKUNTANSI
PEMBELI
Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.
Dalam transaksi
istishna’ Lembaga Keuangan Syariah dapat bertindak sebagai pembuat atau
produsen atau penjual atau subkontraktor dan bertindak sebagai pemesan atau nasabah pembeli akhir. Oleh
karena itu dalam transaksi istishna’ ini Lembaga Keuangan Syariah sebagai
subkontraktor menerapkan akuntansi penjual dan nasabah sebagai pembeli akhir
menerapkan akuntansi pembeli.
2.
Disisi lain dalam transaksi istishna’ Lembaga Keuangan
Syariah dapat bertindak sebagai pemesan atau pembeli dan nasabah bertindak
sebagai penjual atau sebagai kontraktor. Oleh karena itu dalam istishna’ ini
Lembaga Keuangan Syariah menerapkan akuntansi pembeli dan nasabah sebagai
kontaktor menerapkan akuntansi penjual.
3.
Dalam hal Lembaga
Keuangan Syariah melaksanakan transaksi istishna’paralel, maka Lembaga Keuangan
Syariah sebagai kontraktor (akad istishna’ pertama) menerapkan akuntansi
penjual dan sebagi pembeli (akad istishna’ pertama) menerapkan akuntansi penjual
dan sebagai pembeli (akad istishna’ kedua) menerapkan Akuntansi pembeli.
VII.
PERLAKUAN AKUNTANSI
(PSAK 106)
A. Akuntansi
untuk Penjual
Pengakuan untuk setiap
aset tergantung dari akadnya. Jika proposal, negoisasi dan biaya serta
pendapatan aset dapat diidentifikasi terpisah, maka akan dianggap akad
terpisah. Jika tidak, maka akan dianggap satu akad. Jika ada pesanan tambahan
dan nilainya signifikan atau negoisasikan terpisah, maka dianggap akad
terpisah.
(1) Biaya
perolehan istishna’ terdiri atas:
a. Biaya
langsung yaitu: bahan baku dan tenaga kerja langsung untuk membuat barang
pesanan, atau tagihan produsen/kontraktor pada entitas untuk istishna’ paralel.
b. Biaya
tidak langsung adalah biaya overhead termasuk biaya akad dan pra akad.
c. Khusus
untuk istishna’ paralel: seluruh biaya akibat produsen/kontraktor tidal dapat
memenuhi kewajiban jika ada.
Biaya
perolehan/pengeluaran selama pembangunan atau tagihan yang diterima dari produsen/kontraktor
akan diakui sebagai aset istishna’ dalam penyelesaian, sehingga jurnal yang
dilakukan bila entitas melakukan pengeluaran untuk akad istishna’ adalah:
Dr.
Aset Istishna’ dalam penyelesaian |
xxx |
Kr.
Persediaan, Kas, Utang, dll |
xxx |
Untuk akun yang
dikredit akan tergantung apa yang digunakan oleh perusahaan untuk memenuhi kewajiban
akad tersebut.
Beban pra akad diakui
sebagai beban tangguhan dan diperhitungkan sebagai biaya istishna’ jika akad
disepakati. Jika akad tidak disepakati maka biaya tersebut dibebankan pada
periode berjalan.
Saat dikeluarkan biaya
pra akad, dicatat:
Dr.
Biaya Pra Akad Ditangguhkan |
xxx |
Kr. Kas |
xxx |
Jika akad disepakati,
maka dicatat:
Dr.
Beban Istishna’ |
xxx |
Kr. Biaya Pra
Akad Ditangguhkan |
xxx |
Jika akad tidak
disepakati, maka dicatat:
Dr.
|
xxx |
Kr. Biaya Pra
Akad Ditangguhkan |
xxx |
(2) Jika
pembeli melakukan pembayarn sebelum tanggal jatuh tempo dan penjual memberikan
potongan, maka potongan tersebut sebagai pengurang pendapatan istishna’.
(3) Pengakuan
pendapatan dapat diakui dengan 2 metode:
a. Metode
persentase peneylesaian, adalah sistem pengakuan pendapatan yang dilakukan
seiring dengan proses penyelesaian berdasarkan akad istishna’
b. Metode
akad selesai adalah sistem pengakuan pendapatan yang dilakukan ketika proses
penyelesaian pekerjaan telah dilakuakn.
Dari kedua metode ini
PSAK 104 menyarankan penggunaan metode persentase penyelesaian, kecuali jika
estimasi persentase penyelesaian akad dan biaya penyelesaian tidak dapat
ditentukan secara rasional maka digunakan metode akad selesai.
(4) Untuk
metode persentase penyelesaian, pengakuan pendapatan dilakukan sejumlah bagian
nilai aka yang sebanding dengan pekerjaan yang telah diselesaikan tersebut
diakui sebagai pendapatan istishna’ pada periode yang bersangkutan.
a. Pendapatan
diakui berdasarkan persentase akad yang telah terselesaikan biasanya estimasi
menggunakan dasar persentase pengeluaran biaya yang dilakukan dibandingkan
dengan total biaya, kemudian persentase tersebut dikalikan dengan nilai akad.
b. Margin
keuntungan juga diakui berdasarkan cara yang sama dengan pendapatan.
Persentase penyelesaian |
: |
Biaya
yang telah dikeluarkan Total
biaya untuk penyelesaian |
Pengakuan pendapatan |
: |
Persentase
penyelesaian x Nilai akad |
Pengakuan margin |
: |
Persentase
penyelesaian x Nilai margin |
Dimana nilai margin
tersebut adalah : Nilai akad - Total biaya
Untuk pengeluaran
pendapatan ditahun-tahun berikutnya jika proses pembangunannya lebih dari satu
tahun:
Pendapatan
tahun berjalan |
= |
Pendapatan
diakui sampai dengan saat ini |
- |
Pendapatan
yang telah diakui |
(5) Untuk
metode persentase penyelesaian, bagian margin keuntungan istishna’ yang diakui
selama periode pelaporan ditambahkan pada aset istishna’ dalam penyelesaian.
(6) Untuk
metode persentase penyelesaian, pada akhir periode harga pokok istishna’ diakui
sebesar biaya istishna’ yang telah dikeluarkan sampai periode tersebut.
(7) Untuk
metode akad selesai tidak ada pengakuan pendapatan, harga pokok dan keuntungan
sampai dengan pekerjaan telah dilakukan. Sehingga pendapatan diakui pada
periode dimana pekerjaan telah selesai dilakukan.
(8) Jika
besar kemungkinan terjadi bahwa total biaya perolehan istishna’ maka taksiran kerugian
harus segera diakui.
(9) Pada
saat penagihan baik metode persentase penyelesaian atau akad selesai, maka
jurnal:
Dr.
Piutang istishna’(sebesar nilai tunai) |
xxx |
Kr. Termin
istishna’ |
xxx |
Termin istishna’
tersebut akan disajikan sebagai akun pengurang dari akun aset istishna’ dalam
penyelesaian.
(10)
Pada saat penerimaan
tagihan, maka jurnal:
Dr.
Kas (sebesar uang yang diterima) |
xxx |
Kr. Piutang usaha |
xxx |
(11)
Penyajian, penjualan
dalam laporan keuangan hal-hal sebagai berikut:
a)
Piutang istishna’ yang
berasal dari transaksi istishna’ sebesar jumlah yang belum dilunasi oleh
pembeli akhir.
b)
Termin istishna’ yang
berasal dari transaksi istishna’ dalam jumlah tagihan termin penjual kepada
pembeli akhir.
(12)
Pengungkapan, penjual
mengungkapkan transaksi istishna’ dalam laporan keuangan, tetapi tidak
terbatas, pada:
a)
Metode akuntansi yang
digunakan dalam pengukuran pendapatan kontrak istishna’.
b)
Metode yang digunakan
dalam penentuan persentase penyelesaian kontrak yang sedang berjalan.
c)
Rincian piutang
istishna’ berdasarkan jumlah, jangka waktu, dan kualitas piutang.
d)
Pengungkapan yang
diperlukan sesuai PSAK No. 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
Jika akad istishna’
dilakukan dengan pembayaran tangguh, maka pengakuan pendapatan dibagi menjadi 2
bagian:
1. Margin
keuntungan pembuatan barang pesanan yang dihitung apabila istishna’ dilakukan
tunai akan diakui sesuai persentase penyelesaian.
2. Selisih
antara nilai akad dan nilai tunai pada saat penyerahan diakui selama periode
pelunasan secara proposional sesuai dengan jumlah pembayaran.
Walaupun dari 2 bagian
tersebut, hanya ada satu harga yang ditetapkan dalam akad.
Berdasarkan hal
tersebut, maka perbedaan jurnal istishna’ tangguhan dengan istishna’ yang
dibayar tunai terletak pada 2 jurnal yang terdiri atas: jurnal untuk pengakuan
pendapatan dan jurnal untuk pengakuan margin keuntungan.
1. Jurnal
pengakuan margin keuntungan pembuatan barang adalah:
Dr.
Aset istishna’ dalam penyelesaian (sebesar margin keuntungan) Dr.
Beban istishna’ (sebesar biaya yang dikeluarkan) |
xxx xxx |
Kr. Pendapatan
istishna’ (sebesar pendapatan yang harus diakui di periode berjalan) |
xxx |
2. Jurnal
pengakuan pendapatan selisih antara nilai akad dan nilai tunai.
Pada saat
penandatanganan akad:
Dr.
Piutang istishna’ (sebesar selisih nilai tunai dan nilai akad) |
xxx |
Kr. Pendapatan
istishna’ tangguh |
xxx |
Pada saat pembayaran
dan pengakuan pendapatan selisih nilai tunai dan niali akad:
Dr.
Pendapatan istishna’ tangguh (secara proporsional periode) |
xxx |
Kr. Pendapatan
akad istishna’ |
xxx |
Dr.
Piutang istishna’ (sebesar kas yang diterima) |
xxx |
Kr. Kas |
xxx |
Untuk membedakan apakah
suatu akad istishna’ yang pembangunan aset istishna’nya dilakukan lebih dari
satu tahun itu dikelompokkan sebagai akad tunai dan atau akad tangguh, maka
yang harus menjadi dasar adalah sesuai waktu serah terimanya.
B. Akuntansi
untuk Pembeli
(1) Pembeli
mengakui aset istishna’ dalam penyelesaian sebesar jumlah termin yang ditagih
oleh penjual dan sekaligus mengakui utang istishna’ kepada penjual. Jurnal:
Dr.
Aset istishna’ dalam penyelesaian |
xxx |
Kr. Utang
kepada penjual |
xxx |
(2) Aset
istishna’ yang diperoleh melalui transaksi istishna’ dengan pembayaran tangguh
lebih dari satu tahun diakui sebesar : biaya perolehan tunai. Selisih sntara
harga beli yang disepakati dalam akad istishna’ tangguh dan biaya perolehan
tunai diakui sebagai beban istishna’ tangguh.
Dr.
Aset istishna’ dalam penyelesaian (sebesar nilai tunai) Dr.
Beban istishna’ tangguh (selisih nilai tunai dengan harga beli) |
xxx xxx |
Kr. Utang
kepada penjual |
xxx |
(3) Beban
istishna’ tangguhan diamortisasi secara proporsional sesuai dengan porsi
pelunasan utang istishna’. Jurnal:
Dr.
Beban istishna’ |
xxx |
Kr. Beban
istishna’ tangguh |
xxx |
Pembayaran utang.
Jurnal:
Dr.
Utang kepada penjual |
xxx |
Kr. Kas |
xxx |
(4) Jika
barang pesanan terlambat diserahkan karena kelalaian atau kesalahan penjual,
dan mengakibatkan kerugian pembeli, maka kerugian tersebut dikurangkan dari
garansi penyelesaian proyek yang telah diserahkan penjual. Jika kerugian itu
lebih besar dari garansi, maka selisihnya diakui sebagai piutang jatuh tempo
kepada penjual dan jika diperlukan dibentuk penyisihan kerugian piutang.
Jurnal:
Dr.
Piutang jatuh tempo kepada penjual |
xxx |
Kr. Kerugian
aset istishna’ |
xxx |
Setelah sebelumnya
pembelu mengakui adanya kerugian.
(5) Jika
pembeli menolah menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi
dan tiadk memperoleh kembali seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan kepada
penjual, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai piutang jatuh
tempo kepada penjual dan jika diperlukan dibentuk penyisihan kerugian piutang.
Dr.
Piutang jatuh tempo kepada penjual |
xxx |
Kr. Aset
istishna’ dalam penyelesaian |
xxx |
(6) Jika
pembeli menerima barang pesanan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, maka
barang pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai
wajar dan biaya perolehan. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada
periode berjalan.
Dr.
Aset istishna’ dalam penyelesaian (nilai wajar) Dr.
Kerugian |
xxx xxx |
Kr. Aset
istishna’ dalam penyelesaian (biaya perolehan) |
xxx |
(7) Penyajian,
pembeli menyajikan dalam laporan keuangan hal-hal sebagai berikut:
a. Utang
istishna’ sebesar tagihan dari produsen atau kontraktor yang belum dilunasi.
b. Aset
istishna’ dalam penyelesaian sebesar:
(i)
Persentase penyelesaian
dari nilai kontrak penjualan kepada pembeli akhir, jika istishna’ paralel; atau
(ii)
Kapitalisasi biaya
perolehan, jika istishna’
(8) Pengungkapan,
pembeli mengungkapkan transaksi istishna’ dalam laporan keuangan, tetapi tidak
terbatas, pada:
a. Rincian
utang istishna’ berdasarkan jumlah dan jangka waktu
b. Pengungkapan
yang diperlukan sesuai PSAK No. 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
Daftar
Pustaka
Nurhayati, Sri
dan Wasilah. 2011. Akuntansi Syariah di Indonesia. Salemba Empat: Jakarta.
Wiroso. 2011.
Akuntansi Transaksi Syariah. Penerbit
IAI: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar